Jumat, 28 Januari 2011

Folklor

Folklor merupakan hazanah sastra lama. Sastra folklor ini berkembang setelah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan antik dari Inggris mengumumkan artikelnya dalam majalah Athenaeum No. 982 tanggal 22 Agustus 1846, dengan mempergunakan nama samaran Ambrose Merton.

Dalam majalah tersebut Thoms menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada, dan tentang masa lampau. Sejak itulah folklore menjadi istilah baru dalam kebudayaan. Secara etimologi, folk artinya kolektif, atau ciri-ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakt, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Atau menurut pendapat Alan dalam Danandjaja (1997: 1) folklor adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenalan fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.
Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997: 2) sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Menurut pendapat Soeryawan (1984: 21) folklor adalah bentuk kesenian yang lahir dan menyebar di kalangan rakyat banyak. Ciri dari seni budaya ini yang merupakan ungkapan pengalaman dan penghayatan manusia yang khas ialah dalam bentuknya yang estetis-artistis. Karena di dalam melaksanakan hubungan-hubungan yang komunikatif, seni mengungkapkannya melalui bentuk-bentuk estetis yang dipilihnya. Pendapat Rusyana ( 1978: 1) folklor adalah merupakan bagian dari persendian ceritera yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat.
Sedangkan menurut pendapat Iskar dalam H.U. Pikiran Rakyat (22-Januari-1996) folklor adalah kajian kebudayaan rakyat jelata baik unsur materi maupun unsur nonmaterinya. Kajian tersebut kepada masalah kepercayaan rakyat, adat kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesusastraan rakyat, nyanyian dan musik rakyat, tarian dan drama rakyat, kesenian rakyat, serta pakaian rakyat. Folklor memang mengkaji seni, sebab menurut pendapat Fischer (1994: folklore the study about art, but, unfortunately, folk art scholarship has tended to lag behind mainstream folkloristic. One reason for this is that the bulk of folk art discussion tends to be purely descriptive rather than analytic. Adapun menurut pedapat Harvey (1955: 294) bahwa folklore the traditional beliefs, legends, and customs, current among the common people and the study of them.

Ciri-ciri Folklor

Kedudukan folklor dengan kebudayaan lainnya tentu saja berbeda, karena folklor memiliki karakteristik atau ciri tersendiri. Menurut pendapat Danandjaja (1997: 3), ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut

  • Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
  • Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
  • Folklor ada (exis) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation).
  • Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
  • Folkor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Dan selalu menggunakan kata-kata klise.
  • Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
  • Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
  • Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidakdiketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
  • Folklor pada umumnya bersifar polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manisfestasinya.
  • Folklor di Indonesia yaitu terbagi menjadi folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore).

1. Folklor Lisan (Verval Folklore)

Menurut pendapat Rusyana (1976: ) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat.

1. Cerita Prosa Rakyat (Dongeng)

Dongeng merupakan cerita prosa rakyat. Karena menurut pendapat Rusyana (2000: 207) istilah dongeng digunakan untuk menyebut sekelompok serita tradisional dalam sastra Sunda. Di dalam sastra Sunda terdapat jenis cerita yang diketahui sudah tersedia dalam masyarakat, yang diterima oleh para anggota masyarakat itu dari generasi yang lebih dulu. Dongeng dituturkan oleh seseorang kepada yang lainnya dengan menggunakan bahasa lisan.

Jenis-jenis dongeng menurut Rusyana (2000: 208), yaitu

(1) dongeng mite,

(2) dongeng legenda,dan

(3) dongeng biasa.

a. Dongeng mite

Dongeng mite ialah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supernatural dengan latar suci dan waktu masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian berkenaan dengan penciptaan semesta dan isinya, perubahan dunia, dan kehancuran dunia. Masyarakat pendukung (pemilik) mite biasanya menganggap cerita itu sebagai suatu yang dipercayai (Rusyana, 2000: 208-209).

b. Dongeng legenda

Dongeng legenda ialah cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan sebagai “pelaku dalam sejarah” dengan latar yang juga dibayangkan terdapat di dunia itu dan waktu di masa lalu, tetapi bukan masa purba. Di dalamnya terdapat peristiwa yang dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya terdapat juga hal-hal yang luar biasa (Rusyana, 2000; 210).

c. Dongeng biasa

Dongeng biasa adalah yang dalam leteratur lain disebut sebagai dongeng tau folktale, yaitu cerita tradisional yang pelaku dan latarnya dibayangkan seperti dalam keadaan sehari-hari, walaupun sering juga mengandung hal yang ajaib. Waktunya dibayangkan dahulu kala. Oleh masyarakat pemiliknya cerita jenis ini tidak diperlakukan sebagai suatu kepercayaan atau suatu yang dibayangkan terjadi dalam sejarah, melainkan diperlakukan sebagai cerita rekaan semata-mata (Rusyana, 2000: 211).

2. Puisi Rakyat

Sajak atau puisi rakyat adalah kesustraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkn mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdsarkan irama (Danandjaja, 1997: 46). Pada folklor Sunda ada dua bentuk puisi Sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah bentuk ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesian yng ditulis tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan. Rajah adalah semacam doa keselamatan dari juru pantun sebelum dan sesudah menuturkan cerita pantun Sunda. Bentuk rajah ini sama belaka dengan bagian cerita pantun yang disebut nataan (Wibisana, 2000: 263). Contoh puisi rakyat: pantun, wawacan, dan jampe-jampe.

3. Bahasa Rakyat (folkspeech)

Bentuk-bentuk folklor Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat (dialect) bahasa-bahasa Nusantara, misalnya logat bahasa Jawa dari Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh bahasa Sunda; atau logat bahasa Sunda dari Banten; atau logat bahasa Jawa Cirebon, dan logat bahasa Cirebon Sunda (Danandjaja, 1997: 22-23). Selain itu bahasa rakyat di tatar Sunda disebut juga bahasa wewengkon, contohnya basa wewengkon Bogor (contoh: topo, sodet, pelanding, dll), basa wewengkon Kuningan (contoh: ula, teoh, menit, ageh, dll.), basa wewengkon Banten (contoh cawene, kotok, dia, dll), dan basa wewengkon lainnya.

4. Ungkapan Tradisional

Ungkapan tradisional atau peribahasa sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer Taylor peribahasa tidak mungkin diberi definisikan (Danandjaja, 1997: 28). Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki, yang perlu diperhatikan oleh mereka yang hendak menelitinya:

peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional saja;

(b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar; dan

(c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan (Danandjaja, 1997: 28). Contohnya: paribasa (peribahasa), babasan, papatah, dan pamali.

5. Pertanyaan Tradisional

Pernyataan tradisional di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki, adalalah pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional pula (Danandjaja, 1997: 33). Contohnya: tatarucingan dan sisindiran.

6. Nyanyian Rakyat

Nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brudvand dalam Danandjaja, 1997: 141). Contohnya: kakawihan urang lembur (tokecang, endeuk-eundeukan, ayang-ayagung, prang-pring, bulantok, cing cangkeling, dll.), kagu-kagu gondang, lagu-lagu calung, lagu-lagu celempungan, lagu pa nyawer, lagu pangjampe, dll.

Folklor Setengah Lisan (Partly Verbal Folklore)

a. Kepercayaan dan tahayul

b. Permainan (kaulinan) rakyat dan hiburan-hiburan rakyat

c. Drama rakyat Seperti: wayang golek, sandiwara, reog, calung, longser, banjet, ubrug, dll.

d. Tari Seperti: tari tayub, tari keurseus, tari ronggeng gunung, tari topeng, dll.

e. Adat atau tradisi

Contohnya: tradisi upacara menanam padi, tradisi orang hamil hingga malahirkan, tradisi pernikahan, tradisi khitanan, tradisi membangun rumah, tradisi ruatan, dll

f. Pesta-pesta rakyat

Contohnya: pesta rakyat kawaluan Baduy, pesta rakyat ngalaksa di Rancaklong dan Baduy, pesta rakyat seba laut di pesisir pantai selatan, pesta rakyat kawin tebu di Majalengka, pesta rakyat seren taun di Ciptarasa dan Baduy, pesta rakyat mubur sura di Rancakalong.
Folklor Bukan Lisan (Nonverba Folklore)

Folklor bukan lisan dapat dibagi menjadi dua golongan/bagian, yaitu

a. Folklor yang materiil

b. Folklor yang materiil

Folklor Materiil

a. Arsitektur rakyat

Seperti: bentuk julang ngapak, tagog anjing, sontog, duduk jandela, dll.

b. Seni kerajinan tangan Seperti: seni batik, anyaman, patung, ukiran, bangunan, dll.

c. Pakaian dan perhiasan. Seperti: Kebaya, baju kampret, totopong, bendo, pendok, giwang, penitik, kalung, gengge, siger, mahkuta, kelom geulis, payung, dll.

d. Obat-obat rakyat. Seperti: jamu-jamuan, daun-daunan, kulit pohon, buah, getah, dan jampe-jampe.

e. Makanan dan minuman. Seperti: awug, tumpeng, puncakmanik, dupi, lontong, ketupat, angleng, wajit, dodol, kolotong, opak, ranginang, ulen, liwet, kueh cuhcur, surabi, bakakak, dadar gulung, aliagrem, dan minuman: lahang, wedang, bajigur, bandrek, dll.

f. Alat-alat music. Seperti: kacapi, suling, angklung, calung, dogdog, kendang, gmbang, rebab, celempung, terebang, tarompet, dll.

g. Peralatan dan senjata. Seperti: rumah tanga; nyiru, dingkul, ayakan, sirib, dulang, dll. Alat pertanian: pacul, parang, wuluku, garu, caplakan, kored, congrang, patik, dekol, balicong, bedog, peso raut, peso rajang, arit, dll. Senjata: tombak, paser, ketepel, sumpit, badi, keris, dll.

h. Mainan. Seperti: ucing sumput, pris-prisan, engkle-engklean, sondah, sapintrong, congklak, damdaman, kasti, langlayangan, papanggalan, luncat galah, kukudaan, dll.

Folklor

Bahasa isyarat (gesture). Seperti: bersiul, mengacungkan jempol, mengedipkan mata, melambaikan tangan, mengangguk, menggeleng, mengepalkan tangan, dll.

b. Laras music. Seperti: laras salendro, laras pelog, laras dedegungan, laras madenda, dll.

Minggu, 02 Januari 2011

REKAYASA DRAINASE

Drainase adalah sistem saluran pembuangan air hujan yang menampung dan mengalirkan air hujan dan air buangan yang berasal dari daerah terbuka maupun dari daerah terbangun. Bila dilihat dari fungsinya, drainase ini untuk menampung, mengalirkan, dan memindahkan air hujan secepat mungkin dari daerah tangkapan ke badan penerima.


Badan penerima sendiri merupakan saluran induk, sungai, laut, dan danau, peresapan dalam tanah tempat dimana air hujan dibuang. Dalam suatu perkotaan drainase berfungsi sebagai pengendali dan mengalirkan limpasan air hujan yang berlebihan dengan aman, dan juga untuk menyalurkan kelebihan air lainnya yang mempunyai dampak mengganggu atau mencemari lingkungan perkotaan. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Sehingga, drainase tidak hanya menyangkut air permukaan tapi juga air tanah. Kegunaan drainase antara lain adalah:

a. mengeringkan daerah becek dan genangan air;

b. mengendalikan akumulasi limpasan air hujan yang berlebihan dan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk imbuhan air tanah;

c. mengendalikan erosi, kerusakan jalan dan bangunan-bangunan;

d. Pengelolaan kualitas air.

Klasifikasi sistem drainase dapat beberapa kelompok antara lain:

a. sistem drainase makro, seperti sungai atau kanal

b. sistem drainase mikro yang berupa:

· sistem saluran drainase primer, yang menerima buangan air hujan baik dari saluran sekunder maupun saluran lainnya dan mengalirkan air hujan langsung kebadan penerima.

· Sistem saluran drainase sekunder yang mengalirkan buangan air hujan langsung ke saluran drainase primer

· sistem saluran drainase tersier adalah cabang dari sistem sekunder yang menerima buangan air hujan yang berasal dari persil bangunan atau saluran lokal.

Bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima (receiving waters).

Kriteria Perencanaan dan Perancangan Sistem Drainase. Untuk membangun drainase, kriteria perencanaan dan perancangan sistem drainase yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

a. luas daerah yang akan dikeringkan;

b. perkiraaan hujan maksimum;

c. kemiringan dari daerah sekitarnya dan kemungkinan pengalirannya, serta pembuangan;

d. karekteristik tanah dasar temasuk permeabilitas dan kecendrungan mengikis tanah;

e. ketinggian rata-rata dari muka air tanah;

f. dalam minimum dari permukaan yang dibutuhkan untuk melindungi pipa saluran drainase dari beban lalu lintas.